Jumat, 13 Mei 2011

KETERLIBATAN RANTAI NILAI PELANGGAN UNTUK MENINGKATKAN KEPUASAN KONSUMEN


RINGKASAN

Perusahaan harus melibatkan pelanggan di proses penciptaan produk baru dan konsep pembangunan di interaksi dengan pemasok (SCM), insinyur dan karyawan yang terampil (ERM) dan dengan distributor dan pengecer (PRM). Sebuah ide produk baru adalah setiap pikiran, peluang, arah, rencana atau program yang memiliki potensi untuk baru produk atau jasa. pola tertentu disebut template dapat diidentifikasi, diverifikasi, belajar dan diterapkan dalam ideating produk baru. Template merupakan pola direplikasi yang digeneralisasikan seluruh variabel dan produk (Goldenberg et al.1999). Sebuah template umum adalah ketergantungan antara dua atau lebih variabel pemasaran.Memperkenalkan fungsi langkah antara harga dan waktu pengiriman menciptakan ketergantungan. template ketergantungan yang sama digunakan di lain contoh : Pada beberapa toko 7-Eleven, pelanggan menerima dolar jika kasir gagal menghasilkan tanda terima. Saat ini, McDonald’s adalah pra-pengujian lain tergantung pada kasir tersenyum sementara pelanggan sedang dilayani. Jika kasir tersebut gagal tersenyum, pelanggan berhak untuk hadiah seperti kentang goreng gratis. Semua kasus-kasus ini melibatkan CVCI, meskipun keterlibatan pelanggan pasif. Menemukan ketergantungan antara dua sebelumnya tidak berhubungan atribut produk dapat benar-benar menciptakan produk baru. Contoh: botol sirup Hungry Jack dirancang untuk oven microwave penggunaan; label dibuat panas sensitif dan perubahan warna pada mencapai suhu tertentu, dengan demikian, memberitahu pengguna bahwa sirup sudah siap. Hal yang sama dapat dilihat dalam kasus pizza dalam hubungan harga dengan suhu pada pengiriman. Ini mengasumsikan bahwa suhu pizza pada pengiriman penting bagi konsumen. Kami berpendapat bahwa ideation ketergantungan akan diperkaya jika perusahaan aktif mengundang CVCI. Targetkan pelanggan bisa diajak untuk menemukan baru dependencies untuk ideation produk baru di hubungannya dengan pemasok, insinyur, karyawan dan ritel mitra. Masalah baru berbasis produk ideation membutuhkan banyak tahapan:

nilai rantai studi dimulai dengan penelaahan atas aktiva dan kemampuan dan berakhir dengan persyaratan pelanggan. Mengingat nilai pelanggan fokus pelanggan target, keinginan, kebutuhan dan keinginan harus didahulukan dan perusahaan harus sesuai. Ada beberapa model yang dapat membawa kecocokan antara perusahaan dan pelanggan. Kami menyajikan model yang unik untuk mengundang keterlibatan pelanggan dalam proses rantai nilai suatu produk atau jasa baru. Model ini juga dapat diterapkan untuk pengembangan dan pemasaran tua produk. Kami mengidentifikasi empat bidang keterlibatan perusahaan: (CRM), manajemen rantai pasokan (SCM), hubungan karyawan manajemen (ERM) dan mitra saluran hubungan manajemen (PRM). Sebagai model pelanggan rantai nilai keterlibatan (CVCI) kami menekankan CRM peluang dan kegiatan yang berkaitan dengan SCM, ERM dan PRM ketika setiap diterapkan ke semua tahap rantai nilai produk baru proses pembangunan. Kinerja yang diukur dengan rata-rata dari pendapatan usaha terhadap jumlah aset (x1) signifikan (pada alpha 0,1) mempengaruhi peluang survive perusahaan kesulitan. Dari nilai koefisiennya yang positif dapat disimpulkan bahwa semakin baik kinerja semasa kesulitan keuangan, semakin besar peluang perusahaan untuk survive. Hal ini sesuai dengan
temuan Fachrudin (2007). Odds ratio atau Exp (B) menunjukkan bahwa cateris paribus, setiap kenaikan 1 unit x2 akan meningkatkan peluang survive yang sangat besar. Hal ini berarti probabilitas survive adalah 100% bila x2 meningkat 1 unit. Misalnya bila selama mas kesulitan perusahaan dapat meningkatkan pendapatan usaha sebanyak dua kali lipat, maka perusahaan tersebut pasti akan survive. Hal ini agak susah terwujud karena pada saat tidak kesulitan pun hal ini jarang tercapai, apalagi saat kesulitan. Pergantian direktur utama selama kesulitan (x2) tidak signifikan mempengaruhi peluang survive perusahaan kesulitan. Pergantian direktur utama agak jarang dilakukan. Rata-rata x2 perusahaan survive adalah 0,50 sedangkan pada perusahaan yang belum survive adalah 0,64. Berarti selama masa kesulitan, secara rata-rata jumlah pergantian direktur utama tidak sampai 1 kali. Hal ini tampak sesuai dengan teori succession crisis yang mengatakan bahwa pergantian eksekutif mengganggu kinerja organisasi karena menambah ketidakpastian dan konflik, serta menurunkan semangat anggota organisasi (Hambrick dan D’Aveni, 1988). Juga sesuai dengan Wruck (1990) bahwa manajer yang sudah lama menjabat umumnya memahami operasi perusahaan secara detail. Gibson (2003) yang meneliti 1200 perusahaan dalam 8 emerging market menemukan dua hasil utama. Pertama, CEO di perusahaan emerging market lebih mungkin kehilangan pekerjaannya pada saat kinerja perusahaan memburuk, ini menunjukkan tata kelola perusahaan sudah efektif di emerging market. Kedua, khusus untuk perusahaan dengan kepemilikan local yang besar, tidak ada hubungan antara CEO turnover dan kinerja perusahaan, ini menunjukkan tata kelola perusahaan kelihatan tidak efektif. Bila alasan Gibson ini diterapkan di sini maka berarti perusahaan kesulitan keuangan yang memang memiliki kinerja
buruk dan tidak signifikan pergantian direktur utamanya menunjukkan indikasi tata kelola yang tidak efektif. Padahal, bila dicermati lebih jauh ternyata ada pembatasan yang dibuat kreditur sehubungan dengan perjanjian kredit. Perjanjian kredit umumnya mensyaratkan perusahaan, antara lain, untuk terlebih
dahulu memperoleh persetujuan dari bank untuk membagikan dividen, melakukan konsolidasi atau
penggabungan usaha, menjual atau menerbitkan saham kepada pihak ketiga, menjual atau
menyewakan aktiva, mengubah anggaran dasar dan susunan pengurus, direksi dan komisaris perusahaan.
Dari 30 perusahaan kesulitan yang diamati dalam kurun waktu 1995 - 2005 ini diperoleh fakta bahwa 17
perusahaan (57%) mempunyai perjanjian kredit yang mensyaratkan persetujuan dari pihak bank untuk
merubah struktur manajemennya. Hal ini sesuai dengan teori bahwa dalam konteks insolvency,
governance ditujukan untuk memaksimalkan keuntungan bagi kreditur. Masalahnya bukan sematamata
nilai likuidasi atau nilai going concern. Tapi bagaimana perusahaan melanjutkan usaha selama
periode terbatas. Perusahaan berpeluang melakukan negosiasi dengan kreditur. Pada periode interim ini,
governance perusahaan menjadi sangat penting, karena kreditur memerlukan kepercayaan akan
kemampuan pengambil keputusan perusahaan untuk merencanakan strategi going forward. Sebagai
tambahan, kreditur memerlukan jaminan mengenai kesediaan dan kemampuan manajemen korporat untuk
melindungi aset yang tersisa untuk sementara waktu sehingga tidak mengurangi kemampuan recovery
kreditur (Davis, 2003). Umur (x3) perusahaan tidak signifikan mempengaruhi peluang survive perusahaan kesulitan. Hal ini menunjukkan bahwa survive atau tidaknya suatu perusahaan tidak bergantung pada usianya. Pengalaman mengelola perusahaan tidak signifikan berhubungan dengan kinerja perusahaan selama survive (korelasi menunjukkan angka -0,118 dan tidak signifikan). Temuan ini sejalan dengan Chancharat et berpeluang meningkatkan kemungkinan survive perusahaan kesulitan keuangan. Hal ini sesuai dengan Kahl (2001) dan Fachrudin (2007). Menurut Kahl (2001), pada prinsipnya ada dua cara bagi perusahaan untuk menanggulangi kesulitan keuangan, yaitu meningkatkan kinerja operasi atau melalui pengurangan beban bunga (atau kombinasi keduanya). Pengurangan beban bunga bahkan juga hutang perusahaan karena ditukar dengan kepemilikan terbukti mengeluarkan perusahaan dari kesulitan pada penelitian ini. Walaupun hasil penelitian menunjukkan creditor equity stake berpeluang terhadap
kemungkinan survive, namun ada segelintir perusahaan yang dapat survive tanpa equity stake. Misalnya SOBI, dengan bantuan penasihat keuangan dari Singapura dan Satuan Tugas Prakarsa Jakarta,
berhasil merestrukturisasi sehingga ada penguranganhutang pokok, transaksi forward dan derivatif. Laba
restrukturisasi berjumlah Rp.1.813.068.602.000. Sedangkan IMAS mengalihkan hutangnya ke keluarga
Salim dan ditukar dengan obligasi konversi yang kelak dapat ditukar jadi saham juga, serta menjual
kepemilikan sahamnya kepada pihak lain. Sebaliknya, ada pula perusahaan kesulitan keuangan yang walaupun sudah melakukan creditor equity stake namun belum survive sampai akhir tahun 2005, yaitu SUDI dan SIPD. SUDI hanya memperoleh sedikit saham dari creditor equity stake yang dilakukan sehingga tidak memadai untuk menjadikan ekuitas menjadi positif. SIPD melakukan creditor equity stake sampai ekuitas menjadi positif tahun 2001, namun sampai tahun 2005 pendapatan bersih tetap negatif dan interest coverage ratio masih di bawah satu karena beban usaha dan beban lain-lain cukup besar.

KESIMPULAN

Survival secara positif dipengaruhi oleh kinerja operasi. Satu-satunya faktor lain yang secara sistematis meningkatkan peluang survive perusahaan adalah kebersediaan kreditur untuk melakukan konversi hutang menjadi ekuitas perusahaan. Hampir semua konversi hutang menjadi ekuitas pada 53,33% perusahaan kesulitan keuangan dilakukan oleh kreditur asing. Perusahaan kesulitan keuangan dapat survive
dengan suntikan modal kreditur asing. Artinya sebahagian besar kepemilikan jatuh ke tangan asing.
Perusahaan kesulitan keuangan memang memerlukan dana tambahan. Modal pemerintah tidak mungkin
diharapkan karena pemerintah masih harus membenahi masalah-masalah lain seperti kemiskinan, pendidikan, dan pemberantasan korupsi.

SARAN
Kesulitan keuangan perusahaan yang diobservasi ini disebabkan oleh membengkaknya pinjaman dalam mata uang asing akibat krisis 1997. Sebaiknya perusahaan melakukan lindung nilai untuk hutang dalam mata uang asing. Perusahaan kesulitan keuangan memerlukan mediasi untuk menegosiasikan hutangnya dengan pihak kreditur. Sebaiknya dalam proses negosiasi dihindarkan kemungkinan bahwa hutang tersebut berpindah ke kreditur asing dan atau hutang tersebut dikonversi menjadi ekuitas pihak asing. Pemerintah, melalui lembaga yang ditunjuk, perlu menjadi mediasi negosiasi yang handal.